Sekitar 3 minggu yang
lalu, aku dan teman-temanku memutuskan untuk melaksanakan kuliah umum morfologi
di Yogyakarta daripada di Jakarta dan Ciamis. Karena menurut kami, di
Yogyakarta lebih efisien, baik dari segi waktu maupun biaya. Jujur aku sangat senang
dan mendukung keputusan itu, karena kabarnya kuliah umum morfologi akan
dilaksanakan di UGM. Satu-satunya hal yang terpikir adalah,”Yes, bisa ketemuan
sama Chicha nih!” Hahahaha di saat teman-temanku yang lain memikirkan tentang
kuliah umum aku malah memikirkan hal yang lain. Akan tetapi kebahagiaanku itu
memudar ketika seminggu yang lalu aku mendapat kabar bahwa kuliah umum tidak
jadi diadakan di UGM, melainkan di Balai Bahasa Yogyakarta. “Yaaaahh, gagal
rencanaku ketemu ama Chicha.”, itulah yang aku pikirkan.
Flash back → Dua minggu
sebelum keberangkatanku ke Jogja, mbak Onya menghubungiku lewat DM Twitter.
Mbak Onya berkata bahwa pada hari Minggu, 11 Desember 2011 akan diadakan
peresmian masjidnya mas Hudson Prananjaya dan dia berkeinginan untuk mengajakku.
Waaaahh, seketika itu senyuman lebar langsung tergambar di wajahku. Dengan
sedikit mempertimbangkan bahwa acara peresmian masjid itu tidak akan mengganggu
acara kuliah umum, aku segera meng-iya-kan tawaran mbak Onya itu. Jujur pada
saat itu aku tidak tahu apakah mas Hudson ikut dalam acara itu atau tidak. Tapi
kalau dipikirkan secara logika ya pasti ikut, hihihi. Meskipun itu bukan alasan
utamaku untuk bersedia hadir. Akhirnya setelah itu aku berencana berangkat ke
Yogyakarta pada hari Sabtu dengan menggunakan kereta.
Sabtu, 10 Desember 2011..
Aku berangkat ke Yogyakarta dengan menggunakan kereta api Sancaka pada pukul
15.00. Selama setengah jam perjalanan, aku merasa nyaman dengan perjalananku
itu, tapi kenyamananku itu berubah ketika aku menyadari bahwa dompetku
tertinggal di rumah. Uang, tanda pengenal, ATM, dan barang-barang penting
lainnya semua ada di dompetku itu. Padahal perjalananku sudah jauh dari
Surabaya. Ya Tuhan, rasanya kaget dan nyesek abis, baru pertama kalinya aku pergi jauh tanpa membawa dompet. Seketika aku merasa tidak
berdaya. Aku terus mencaci diriku sendiri yang sangat ceroboh. Sekitar pukul
16.00, aku menelepon mamaku dan mengatakan bahwa dompetku tertinggal di rumah.
Entah mengapa mamaku yang biasanya selalu memarahiku ketika aku melakukan
kecerobohan pada saat itu hanya berkata, “Owalah, ya sudah, kalau ketinggalan
mau diapain lagi?”. Mendengar nasehat mama yang sangat santai itu, hatiku
berbunyi “Kratak-kratak”. Antara terkejut dan bingung, aku tetap melanjutkan
obrolan itu. Dalam obrolan itu, aku meminta mama untuk menitipkan dompetku
kepada salah satu sahabatku yang bernama Kiki yang akan berangkat ke Jogja pada
hari Minggu bersama teman-teman yang lain.
Oke, satu masalah sudah
selesai. Masalah lain yang muncul adalah di mana aku akan tidur kalau aku tidak
membawa uang? Aku menjadi sangat tertekan ketika memikirkan hal itu, Ya Tuhan.
Pamanku yang tinggal di Jogja sudah pindah, Chicha ada kegiatan di Bandung,
Deta rumahnya jauh. Waaaahh, saya pun menangis, huhuhu. Akhirnya aku menelpon
Ika (sahabatku di Surabaya) dan berusaha meminta pertolongan kepadanya,
meskipun sebenarnya aku tidak mau merepotkan dan membuatnya terlibat dalam
masalahku ini. Tapi, ya mau bagaimana lagi? Dan anehnya, dia lebih histeris
dari mamaku, ckckck. Setelah lama menunggu dalam kegalauan, sekitar pukul 19.00
Ika meneleponku kembali. Dia berkata bahwa ada temannya di Jogja yang bersedia
membantuku. Hatiku terasa seperti sedang mengalami musim semi ketika mendengar
perkataan Ika itu. Tidak lama kemudian, temannya Ika itu mengirimkan SMS ke
nomorku. Yang membuatku terkejut adalah ternyata temannya temanku itu juga
bernama Ika. Ya Tuhan, begitu besarnya jasa wanita-wanita super yang bernama
Ika ini.
Sekitar pukul 20.00,
aku pun tiba di stasiun Tugu Yogyakarta. Aku segera menuju ke pintu masuk
tempat mbak Ika menungguku, tapi sepertinya aku salah persepsi. Aku menunggu di
pintu masuk di depan sebuah hotel, sementara mbak Ika menungguku di pintu masuk
yang satunya, hehehe. Tapi, setelah kesalahpersepsian itu akhirnya aku bertemu
dengan mbak Ika. Dengan segera aku menghampiri mbak Ika dan menjabat tangannya.
Satu-satunya yang terpikir saat itu adalah, “Ya Allah, mbak Ika ini mirip
sekali dengan Ika.” Aku tidak banyak menunggu, dengan segera aku naik ke motor
yang dikendarai oleh mbak Ika. Selama di perjalanan, kami saling mengobrol. Ya,
mengobrol biasa tapi cukup membuatku merasa cocok dengan mbak yang satu ini.
Keceriaannya dan kemampuannya membuat lelucon dapat mengimbangi diriku yang
lebih banyak diam ini, hahaha (boong banget kalo aku ini pendiam). Setelah
kurang lebih 10-15 menit dalam perjalanan, akhirnya aku sampai di tempat
kos-nya mbak Ika yang berada di Jalan Selokan Mataram (komplek UGM).
Sesampainya di tempat
kos mbak Ika, aku berkenalan dengan penghuni kos yang lain. Ada mbak Siti, mbak
Dewi, dan Dian. Tidak berselang lama, mbak Ika pamit untuk membeli makan malam,
aku yang ditawari makan berusaha menolak secara halus karena memang aku tidak
merasa lapar. Tapi ternyata setelah mbak Ika kembali aku langsung disuguhi ayam
goreng lengkap dengan nasi, sambel dan lalapannya, ditambah dengan teh hangat.
Ya Allah, aku sangat merepotkan. Malu memang, tapi ya diterima aja, hehehe. Setelah
makan, aku diajak oleh mbak Ika untuk menonton film perang korea yang
dibintangi oleh Won Bin (lupa judulnya). Meskipun sebenarnya aku sudah lelah,
tapi akhirnya aku menontonnya karena aku juga penasaran dengan filmnya, hohoho.
Dari menonton film itu, aku bisa merasakan keramahan para penghuni kos-kosan
itu. Sampai aku merasa bahwa aku sudah lama tinggal di kos-kosan itu. Setelah
kurang lebih 3 jam kami menonton film itu, akhirnya pada pukul 01.00 kami tidu
di kamar masing-masing (kalo aku ya di kamarnya mbak Ika, hihihihi). Aku yang
memang kelelahan segera tidur dengan sangat pulas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar