Halaman

Rabu, 14 Desember 2011

Tragedi Dompet


Sekitar 3 minggu yang lalu, aku dan teman-temanku memutuskan untuk melaksanakan kuliah umum morfologi di Yogyakarta daripada di Jakarta dan Ciamis. Karena menurut kami, di Yogyakarta lebih efisien, baik dari segi waktu maupun biaya. Jujur aku sangat senang dan mendukung keputusan itu, karena kabarnya kuliah umum morfologi akan dilaksanakan di UGM. Satu-satunya hal yang terpikir adalah,”Yes, bisa ketemuan sama Chicha nih!” Hahahaha di saat teman-temanku yang lain memikirkan tentang kuliah umum aku malah memikirkan hal yang lain. Akan tetapi kebahagiaanku itu memudar ketika seminggu yang lalu aku mendapat kabar bahwa kuliah umum tidak jadi diadakan di UGM, melainkan di Balai Bahasa Yogyakarta. “Yaaaahh, gagal rencanaku ketemu ama Chicha.”, itulah yang aku pikirkan.


Flash back → Dua minggu sebelum keberangkatanku ke Jogja, mbak Onya menghubungiku lewat DM Twitter. Mbak Onya berkata bahwa pada hari Minggu, 11 Desember 2011 akan diadakan peresmian masjidnya mas Hudson Prananjaya dan dia berkeinginan untuk mengajakku. Waaaahh, seketika itu senyuman lebar langsung tergambar di wajahku. Dengan sedikit mempertimbangkan bahwa acara peresmian masjid itu tidak akan mengganggu acara kuliah umum, aku segera meng-iya-kan tawaran mbak Onya itu. Jujur pada saat itu aku tidak tahu apakah mas Hudson ikut dalam acara itu atau tidak. Tapi kalau dipikirkan secara logika ya pasti ikut, hihihi. Meskipun itu bukan alasan utamaku untuk bersedia hadir. Akhirnya setelah itu aku berencana berangkat ke Yogyakarta pada hari Sabtu dengan menggunakan kereta.

Sabtu, 10 Desember 2011..
Aku berangkat ke Yogyakarta dengan menggunakan kereta api Sancaka pada pukul 15.00. Selama setengah jam perjalanan, aku merasa nyaman dengan perjalananku itu, tapi kenyamananku itu berubah ketika aku menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Uang, tanda pengenal, ATM, dan barang-barang penting lainnya semua ada di dompetku itu. Padahal perjalananku sudah jauh dari Surabaya. Ya Tuhan, rasanya kaget dan nyesek abis, baru pertama kalinya aku  pergi jauh tanpa membawa dompet. Seketika aku merasa tidak berdaya. Aku terus mencaci diriku sendiri yang sangat ceroboh. Sekitar pukul 16.00, aku menelepon mamaku dan mengatakan bahwa dompetku tertinggal di rumah. Entah mengapa mamaku yang biasanya selalu memarahiku ketika aku melakukan kecerobohan pada saat itu hanya berkata, “Owalah, ya sudah, kalau ketinggalan mau diapain lagi?”. Mendengar nasehat mama yang sangat santai itu, hatiku berbunyi “Kratak-kratak”. Antara terkejut dan bingung, aku tetap melanjutkan obrolan itu. Dalam obrolan itu, aku meminta mama untuk menitipkan dompetku kepada salah satu sahabatku yang bernama Kiki yang akan berangkat ke Jogja pada hari Minggu bersama teman-teman yang lain.

Oke, satu masalah sudah selesai. Masalah lain yang muncul adalah di mana aku akan tidur kalau aku tidak membawa uang? Aku menjadi sangat tertekan ketika memikirkan hal itu, Ya Tuhan. Pamanku yang tinggal di Jogja sudah pindah, Chicha ada kegiatan di Bandung, Deta rumahnya jauh. Waaaahh, saya pun menangis, huhuhu. Akhirnya aku menelpon Ika (sahabatku di Surabaya) dan berusaha meminta pertolongan kepadanya, meskipun sebenarnya aku tidak mau merepotkan dan membuatnya terlibat dalam masalahku ini. Tapi, ya mau bagaimana lagi? Dan anehnya, dia lebih histeris dari mamaku, ckckck. Setelah lama menunggu dalam kegalauan, sekitar pukul 19.00 Ika meneleponku kembali. Dia berkata bahwa ada temannya di Jogja yang bersedia membantuku. Hatiku terasa seperti sedang mengalami musim semi ketika mendengar perkataan Ika itu. Tidak lama kemudian, temannya Ika itu mengirimkan SMS ke nomorku. Yang membuatku terkejut adalah ternyata temannya temanku itu juga bernama Ika. Ya Tuhan, begitu besarnya jasa wanita-wanita super yang bernama Ika ini.

Sekitar pukul 20.00, aku pun tiba di stasiun Tugu Yogyakarta. Aku segera menuju ke pintu masuk tempat mbak Ika menungguku, tapi sepertinya aku salah persepsi. Aku menunggu di pintu masuk di depan sebuah hotel, sementara mbak Ika menungguku di pintu masuk yang satunya, hehehe. Tapi, setelah kesalahpersepsian itu akhirnya aku bertemu dengan mbak Ika. Dengan segera aku menghampiri mbak Ika dan menjabat tangannya. Satu-satunya yang terpikir saat itu adalah, “Ya Allah, mbak Ika ini mirip sekali dengan Ika.” Aku tidak banyak menunggu, dengan segera aku naik ke motor yang dikendarai oleh mbak Ika. Selama di perjalanan, kami saling mengobrol. Ya, mengobrol biasa tapi cukup membuatku merasa cocok dengan mbak yang satu ini. Keceriaannya dan kemampuannya membuat lelucon dapat mengimbangi diriku yang lebih banyak diam ini, hahaha (boong banget kalo aku ini pendiam). Setelah kurang lebih 10-15 menit dalam perjalanan, akhirnya aku sampai di tempat kos-nya mbak Ika yang berada di Jalan Selokan Mataram (komplek UGM).

Sesampainya di tempat kos mbak Ika, aku berkenalan dengan penghuni kos yang lain. Ada mbak Siti, mbak Dewi, dan Dian. Tidak berselang lama, mbak Ika pamit untuk membeli makan malam, aku yang ditawari makan berusaha menolak secara halus karena memang aku tidak merasa lapar. Tapi ternyata setelah mbak Ika kembali aku langsung disuguhi ayam goreng lengkap dengan nasi, sambel dan lalapannya, ditambah dengan teh hangat. Ya Allah, aku sangat merepotkan. Malu memang, tapi ya diterima aja, hehehe. Setelah makan, aku diajak oleh mbak Ika untuk menonton film perang korea yang dibintangi oleh Won Bin (lupa judulnya). Meskipun sebenarnya aku sudah lelah, tapi akhirnya aku menontonnya karena aku juga penasaran dengan filmnya, hohoho. Dari menonton film itu, aku bisa merasakan keramahan para penghuni kos-kosan itu. Sampai aku merasa bahwa aku sudah lama tinggal di kos-kosan itu. Setelah kurang lebih 3 jam kami menonton film itu, akhirnya pada pukul 01.00 kami tidu di kamar masing-masing (kalo aku ya di kamarnya mbak Ika, hihihihi). Aku yang memang kelelahan segera tidur dengan sangat pulas.

Tidak ada komentar: